1.Kerukunan Antar Umat
Beragama Menurut Pandangan Islam
Kerukunan
adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya,
hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk
tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila
pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang
ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia. Namun apabila melihat kenyataan,
ketika sejarah kehidupan manusia generasi pertama keturunan Adam yakni Qabil
dan Habil yang berselisih dan bertengkar dan berakhir dengan terbunuhnya sang
adik yaitu Habil; maka apakah dapat dikatakan bahwa masyarakat generasi pertama
anak manusia bukan masyarakat yang rukun? Apakah perselisihan dan pertengkaran
yang terjadi saat ini adalah mencontoh nenek moyang kita itu? Atau perselisihan
dan pertengkaran memang sudah sehakekat dengan kehidupan manusia sehingga
dambaan terhadap “kerukunan” itu ada karena “ketidakrukunan” itupun sudah
menjadi kodrat dalam masyarakat manusia?.
Pertanyaan seperti tersebut di atas bukan menginginkan jawaban akan tetapi
hanya untuk mengingatkan bahwa manusia itu senantiasa bergelut dengan tarikan
yang berbeda arah, antara harapan dan kenyataan, antara cita-cita dan yang
tercipta.
Manusia
ditakdirkan Allah Sebagai makhluk social yang membutuhkan hubungan dan
interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk social, manusia
memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik
kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong
(ta’awun) dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan
ras, bangsa, dan agama.
A. Kerja
sama intern umat beragama
Persaudaraan atau ukhuwah, merupakan salah satu ajaran yang mendapat perhatian
penting dalam islam. Al-qur’an menyebutkan kata yang mengandung arti
persaudaraan sebanyak 52 kali yang menyangkut berbagai persamaan, baik
persamaan keturunan, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama. Ukhuwah yang
islami dapat dibagi kedalam empat macam,yaitu :
– Ukhuwah ’ubudiyah atau saudara sekemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah.
– Ukhuwah insaniyah (basyariyah), dalam arti seluruh umat manusia adalah
bersaudara, karena semua berasal dari ayah dan ibu yang sama;Adam dan Hawa.
– Ukhuwah wathaniyah wannasab,yaitu persaudaraan dalam keturunan dan
kebangsaan.
– Ukhuwwah fid din al islam, persaudaraan sesama muslim.
Esensi dari
persaudaraan terletak pada kasih sayang yang ditampilkan bentuk perhatian,
kepedulian, hubungan yang akrab dan merasa senasib sepenanggungan. Nabi menggambarkan
hubungan persaudaraan dalam haditsnya yang artinya ” Seorang mukmin dengan
mukmin yang lain seperti satu tubuh, apabila salah satu anggota tubuh
terluka, maka seluruh tubuh akan merasakan demamnya. Ukhuwwah adalah
persaudaraan yang berintikan kebersamaan dan kesatuan antar sesama. Kebersamaan
di akalangan muslim dikenal dengan istilah ukhuwwah Islamiyah atau persaudaraan
yang diikat oleh kesamaan aqidah.
Persatuan
dan kesatuan sebagai implementasi ajaran Islam dalam masyarakat merupakan salah
satu prinsip ajaran Islam.Salah satu masalah yang di hadapi umat Islam sekarang
ini adalah rendahnya rasa kesatuan dan persatuan sehingga kekuatan mereka
menjadi lemah.
Salah satu sebab rendahnya rasa persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam
adalah karena randahnya penghayatan terhadap nilai-nilai Islam.
Persatuan di kalangan muslim tampaknya belum dapat diwujudkan secara nyata.
Perbedaan kepentingan dan golongan seringkali menjadi sebab perpecahan umat.
Perpecahan itu biasanya diawali dengan adanya perbedaan pandangan di kalangan
muslim terhadap suatu fenomena. Dalam hal agama, di kalangan umat islam
misalnya seringkali terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran mengenal sesuatu
hukum yang kemudian melahirkan berbagai pandangan atau madzhab. Perbedaan pendapat
dan penafsiran pada dasarnya merupakan fenomena yang biasa dan manusiawi,
karena itu menyikapi perbedaan pendapat itu adalah memahami berbagai
penafsiran.
Untuk
menghindari perpecahan di kalangan umat islam dan memantapkan ukhuwah islamiyah
para ahli menetapkan tiga konsep,yaitu :
1. Konsep
tanawwul al ’ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya
keragaman yang dipraktekkan Nabi dalam pengamalan agama yang mengantarkan
kepada pengakuan akan kebenaran semua praktek keagamaan selama merujuk kepada
Rasulullah. Keragaman cara beribadah merupakan hasil dari interpretasi terhadap
perilaku Rasul yang ditemukan dalam riwayat (hadits).
2. Konsep al
mukhtiu fi al ijtihadi lahu ajrun(yang salah dalam berijtihad pun mendapatkan
ganjaran). Konsep ini mengandung arti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat
seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah ,
walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya itu keliru. Di sini perlu dicatat
bahwa wewenang untuk menentukan yang benar dan salah bukan manusia, melainkan
Allah SWT yang baru akan kita ketahui di hari akhir. Kendati pun demikian,
perlu pula diperhatikan orang yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang
pendapatnya diikuti, haruslah orang yang memiliki otoritaskeilmuan yang
disampaikannya setelah melalui ijtihad.
3. Konsep la hukma lillah qabla ijtihadi al mujtahid (Allah belum menetapkan
suatu hukum sebelum upaya ijtihad dilakukan seorang mujtahid). Konsep ini dapat
kita pahami bahwa pada persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya
secara pasti, baik dalam al-quran maupun sunnah Rasul, maka Allah belum
menetapkan hukumnya. Oleh karena itu umat islam,khususnya para mujtahid,
dituntut untuk menetapkannya melalui ijtihad. Hasil dari ijtihad yang dilakukan
itu merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihad
itu berbeda-beda.
Ketiga
konsep di atas memberikan pemahaman bahwa ajaran Islam mentolelir adanya
perbedaan dalam pemahaman maupun pengalaman. Yang mutlak itu hanyalah Allah dan
firman-fiman-Nya,sedangkan interpretasi terhadap firman-firman itu bersifat
relatif. Karena itu sangat dimungkinkan untuk terjadi perbedaan. Perbedaan
tidak harus melahirkan pertentangan dan permusuhan. Di sini konsep Islam
tentang Islah diperankan untuk menyelesaikan pertentangan yang terjadi sehingga
tidak menimbulkan permusuhan, dan apabila telah terjadi, maka islah diperankan
untuk menghilangkannya dan menyatukan kembali orang atau kelompok yang saling
bertentangan.
B. Kerja
sama antar umat beragama
Memahami dan mengaplikasikan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tidak
selalu hanya dapat diharapkan dalam kalangan masyarakat muslim. Islam dapat
diaplikasikan dalam masyarakat manapun, sebab secara esensial ia merupakan
nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa Islam yang
hakiki hanya dirujukkan kepada konsep al-quran dan As-sunnah, tetapi dampak
sosial yang lahir dari pelaksanaan ajaran isalam secara konsekwen dapat
dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.
Demikian pula pada tataran yang lebih luas, yaitu kehidupan antar
bangsa,nilai-nilai ajaran Islam menjadi sangat relevan untuk dilaksanakan guna
menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.
Dominasi
salah satu etnis atau negara merupakan pengingkaran terhadap makna Islam, sebab
ia hanya setia pada nilai kebenaran dan keadilan yang bersifat universal.
Universalisme Islam dapat dibuktikan anatara lain dari segi, dan sosiologi.
Dari segi agama, ajaran Islam menunjukkan universalisme dengan doktrin
monoteisme dan prinsip kesatuan alamnya. Selain itu tiap manusia, tanpa
perbedaan diminta untuk bersama-sama menerima satu dogma yang sederhana dan
dengan itu ia termasuk ke dalam suatu masyarakat yang homogin hanya denga
tindakan yang sangat mudah ,yakni membaca syahadat. Jika ia tidak ingin masuk
Islam, tidak ada paksaan dan dalam bidang sosial ia tetap diterima dan
menikmati segala macam hak kecuali yang merugikan umat Islam.
Ditinjau dari segi sosiologi, universalisme Islam ditampakkan bahwa wahyu
ditujukan kepada semua manusia agar mereka menganut agama islam, dan dalam
tingkat yang lain ditujukan kepada umat Islam secara khususu untuk menunjukan
peraturan-peraturan yang harus mereka ikuti. Karena itu maka pembentukan
masyarakat yang terpisah merupakan suatu akibat wajar dari ajaran Al-Qur’an
tanpa mengurangi universalisme Islam.
Melihat Universalisme Islam di atas tampak bahwa esensi ajaran Islam terletak
pada penghargaan kepada kemanusiaan secara univarsal yang berpihak kepada
kebenaran, kebaikan,dan keadilan dengan mengedepankan kedamaian.;menghindari
pertentangan dan perselisian, baik ke dalam intern umat Islam maupun ke luar.
Dengan demikian tampak bahwa nilai-nilai ajaran Islam menjadi dasar bagi
hubungan antar umat manusia secara universal dengan tidak mengenal suku,bangsa
dan agama.
Hubungan antara muslim dengan penganut agama lain tidak dilarang oleh syariat
Islam, kecuali bekerja sama dalam persoalan aqidah dan ibadah. Kedua persoalan
tersebut merupakan hak intern umat Islam yang tidak boleh dicamputi pihak lain,
tetapi aspek sosial kemasyarakatan dapat bersatu dalam kerja sama yang baik.
Kerja sama antar umat beragama merupakan bagian dari hubungan sosial antar
manusia yang tidak dilarang dalam ajaran Islam. Hubungan dan kerja sama dalam
bidang-bidang ekonomi, politik, maupun budaya tidak dilarang, bahkan dianjurkan
sepanjang berada dalam ruang lingkup kebaikan.
2.Prulalisme
Istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa
ini. Banyak ilmuwan dan Pemikir yang membahas dan memasarkan istilah ini kepada
masyarakat. Menurut mereka paham ini sangat cocok di kembangkan di Indonesia,
dikarenakan kondisi masyarakatnya yang plural (sangat beragam dalam segala hal
terutama agamanya). Menurut Adnin Armas, Paham ini mengajarkan bahwa semua
agama adalah sama. Kebenaran adalah milik bersama. Dalam setiap agama terdapat
kebenaran. Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, Islam bukanlah
satu-satunya jalan yang sah menuju kepada kebenaran.[1]
Karena bukan Islam jalan satu-satunya kebenaran, maka paham ini menjamin
apapun agamanya pasti akan membawanya menuju Tuhan yang berakhir mendapatkan
syurganya. Yang menyebabkan seseorang masuk syurga bukan apa agamanya
tapi apa kebaikan yang telah dia perbuat. Semakin banyak seseorang berbuat baik
maka akan semakin besar peluang dia mendapatkan syurga, tak peduli apapun
agamanya. Diantara orang yang mempunyai pemikiran seperti itu adalah Prof. Dr.
Munir Mulkhan, dia menyatakan : “Jika semua agama memang benar sendiri, penting
diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan
kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya.
Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan,
penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan
universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk
berbeda agama jadi mungkin.[2]
Sementara itu MUI mempunyai pendapat lain mengenai paham ini. Melalui
fatwanya yang dikeluarkan dalam MUNAS ke 7 tahun 2005, MUI telah dengan
tegas menyatakan bahwa Pluralisme merupakan paham yang bertentangan dengan
ajaran Islam. Bahkan melarang kepada segenap umat Islam untuk mengikuti apalagi
mengamalkan paham ini. Argumentasi MUI melarang paham ini adalah ayat-ayat al
Qur’an, seperti “barang
siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu), dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”[3] . Dan “Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”[4]. Dan “Untukmu
agamamu, dan untukkulah agamaku”.[5]
Selain ayat al Qur’an argumentasi lainnya adalah Hadits Rosulullah saw.
Imam Muslim (w 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan hadits
Rosulullah saw : “Demi zat yang menguasai jiwa Muhamad, tidak ada seorangpun
baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini,
kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia
mati akan menjadi penghuni neraka.”. Begitu juga Nabi mengirimkan surat-surat
Dakwah kepada orang-orang non muslim, antara lain kaisar Heraklius, Raja Romawi
yang beragama Nasrani, al-najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra
Persia yang beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam
(Hadits Riwayat Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat al-Kubra dan imam al Bukhari dalam
Shahih al Bukhari).
Antara Pluralisme dan Pluralitas
Melalui fatwa MUI ini maka dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam
harus meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar. Hanya Islamlah yang akan
membawa penganutnya kepada jalan keselamatan. Hanya Islam yang diridloi Allah
swt yang dengannya menjadi jaminan seseorang masuk syurga. Yang perlu dicatat,
sikaf eksklusif umat Islam ini terhadap orang kafir adalah hanya dalam hal yang
bersifat Aqidah dan Ibadah. Dan tidak berlaku dalam urusan mu’amalah dan
masalah-masalah sosial lainnya. Karena dalam fatwanya MUI pun mengakui
Pluralitas (keberagaman agama) dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh karena
itu, dalam hal ini MUI tetap menganjurkan umat Islam agar bersikap inklusif,
dalam arti untuk masalah sosial yang tidak terkait Aqidah dan Ibadah, umat
Islam dianjurkan tetap melakukan pergaulan sosial dengan agama lain sepanjang
tidak merugikan.
Pluralisme sendiri bukanlah paham yang lahir dalam diskursus keislaman.
Dalam penelitian Syamsudin Arif, paham ini merupakan turunan dari paham
Relativisme. Menurutnya, fakta bahwa agama yang ada didunia ini sangat banyak
telah melahirkan dua aliran pemikiran besar, yaitu skeptisisme dan relativisme.
Kaum skeptis menyatakan bahwa beragamnya agama tersebut menjadi pembenar bahwa
kebenaran dalam agama itu tidak ada. Sementara kaum relativis berpendapat
sebaliknya, bahwa beragamnya agama merupakan sebuah fakta bahwa kebenaran itu
tidak satu, ia ada pada setiap agama.
Lebih lanjut, kaum relativis ini memiliki tiga aliran pemikiran, yaitu
esensialisme, sinkretisme, dan pluralisme. Esensialisme menyatakan bahwa semua
agama pada esensinya sama, percaya pada ketuhanan. Bedanya hanya pada bentuk
formalnya saja. Sementara Sinkretisme, melangkah lebih jauh dengan mencoba
menyatukan agama-agama dalam satu format keagamaan. Contohnya sikhisme di
india, baha’isme di iran, caudaisme di Vietnam, atau semacam aliran-alian
kebatinan.
Adapun Pluralisme mengakui bahwa agama itu sama dalam porsinya
masing-masing. Dengan kata lain, mengakui persamaan dalam perbedaan. Sama-sama
benar dalam posisi dan kedudukannya masing-masing.[6] Semua keyakinan dan paham ini bertentangan dengan konsep Islam yang
telah dirumuskan dan menjadi Fatwa MUI diatas. Dan menunjukan bahwa Pluralisme
bukan merupakan paham yang lahir dari Islam bahkan justru bertentangan dengan
Islam.
Meskipun pluralisme ini bukan berasal dari Islam, tapi kaum pluralis
mencari legitimasinya dari ayat-ayat al Qur’an. Mereka mengakalinya sehingga
terkesan al Quran pun mendukung terhadap paham ini. Ayat al Qur’an yang sering
dijadikan rujukan mereka adalah QS al Baqarah ayat 62 :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ
وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحاً فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ
خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima
pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak
(pula) mereka bersedih hati.”
Menurut kaum pluralis, ayat ini merupakan pendukung pendapat mereka yang
menyatakan bahwa semua agama benar. Apapun agamanya asal beriman kepada Allah,
hari akhir dan beramal shaleh maka mereka tidak perlu khawatir dan bersedih
hati, yang itu artinya mendapat ridlo Allah swt.
Namun, pendapat ini jelas keliru. Karena konsep beriman kepada Allah swt
dan beramal shaleh dituntut sebuah totalitas dan tidak parsial. Tidak
boleh orang yang mengaku beriman kepada Allah tapi tidak mengakui Rosulullah
saw sebagai Nabi-Nya, dan atau tidak meyakini al Qur’an sebagai wahyu-Nya.
Orang yang mengaku beriman kepada-Nya pasti akan mengerjakan setiap
perintah-Nya termasuk mengakui dan mentaati Rosulullah saw sebagai utusan-Nya,
dan meyakini al Qur’an sebagai wahyu-Nya.
Pandangan Islam tentang Keberagaman (pluralitas)
Allah swt melalui wahyunya telah memberikan petunjuk yang jelas tentang
bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan sesamanya. Begitu juga
hal ini telah di contohkan oleh utusan-Nya Muhamad saw. Dan fatwa MUI di atas
dirasa telah cukup untuk mewakili bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan
umatnya menyikapi masalah pluralitas.
Dalam hal Aqidah dan Ibadah, umat Islam diperintahkan untuk tidak
berkompromi dengan orang kafir. Umat Islam dilarang meyakini kebenaran agama
lain selain Islam. Umat Islam dilarang juga mencampuradukan konsep peribadahan
dengan agama lain diluar Islam (sinkretisme). Diantara ayat al Qur’an yang
membahas masalah ini adalah QS al kaaFirun [109] : 1-6;
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5)
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku.”
Dari awal sampai akhir ayat diatas dengan sangat jelas melarang umat
Islam melakukan kompromi Aqidah dan ibadah dengan orang-orang kafir. Umat Islam
diperintahkan untuk mengatakan kepada orang kafir bahwa kita bukanlah penyembah
dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang mereka sembah. Sebaliknya,
orang kafir bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang
orang Islam sembah.
Imam Ibnu Jarir dalam tafsirnya meriwayatkan Hadits yang menjadi asbabu
nuzul ayat ini, Yaitu: Menurut Ibnu Abas, bahwa orang Quraisy pernah
menawarkan kepada Rosulullah saw harta yang banyak sehingga beliau akan menjadi
orang yang paling kaya di Mekah. Bahkan beliau boleh memilih perempuan Quraisy
yang mana saja untuk dinikahi dengan syarat tidak lagi mencaci maki Tuhan-tuhan
yang mereka sembah.
Jika beliau menolak kesepakatan itu, maka orang Quraisy menawarkan
kesepakatan lain yaitu mereka akan beribadah kepada Tuhan Muhamad selama satu
tahun dan Muhamad pun harus beribadah kepada tuhan mereka selama satu tahun
penuh. Menurut Ibnu Abas, kepada ajakan kaum Quraisy ini Rosulullah saw tidak
langsung memberikan jawaban sehingga turun Qur’an Surat al Kaafirun ayat satu
sampai enam.[7]
Penolakan Rosulullah saw kepada ajakan Quraisy diatas menunjukan bahwa
tidak ada kompromi bagi umat Islam dengan agama lain dalam hal Aqidah dan
Ibadah. Namun, Rosulullah saw juga mengajarkan tetap berkompromi dan bergaul
dengan masyarakat diluar agama Islam dalam hal-hal yang bersifat sosial
kemasyarakatan. Rosulullah saw tetap berinteraksi (inklusif) dan tidak menutup
diri (eksklusif) dengan orang-orang diluar agama Islam.
Diantaranya Rosulullah saw pernah menggadaikan baju besinya kepada orang
yahudi. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh siti A’isyah: “Bahwa Rosulullah saw pernah membeli
makanan kepada orang yaudi dengan menggadaikan baju besinya”
(Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukan bahwa Islam
mengakui Pluralitas dan menolak pluralisme, sebagaimana kata Adnin Armas,
merupakan sebuah paham syirik kontemporer. Wallahu ‘Alam.
Penutup
Semoga dengan adanya pembahasan tentang “Kerukunan Antar Umat Beragama”
dan “Prulalisme Dalam Islam”
para pembaca bisa memahami pengertian kerukuna antar umat beragama dan
prulalisme dalam islam dan apa manfaatnya.Terima Kasih.
Daftar
Pustaka
https://dakaz.wordpress.com/kerukunan-antar-umat-beragama-menurut-pandangan-islam/
https://pemudapersisjabar.wordpress.com/artikel/syamsul-arafat/pluralisme-dalam-islam/